TrafficRevenue

Saturday, December 18, 2010

Jejak Forensik Digital - Melacak Wajah

Melacak Wajah
Ilmu forensik tidak melulu harus terkait dengan notebook/harddisk. Apalagi jika barang bukti tindak kejahatan berhubungan dengan foto/video. Biasanya yang digunakan adalah forensik bidang kedokteran. Misalnya saja kasus bom bunuh diri teroris atau tersebarnya video biru yang lalu. Untuk mengungkap kasus seperti itu, digunakanlah suatu teknik bernama superimposed. Di sinilah kemampuan seorang ahli seperti drg. Peter Sahelangi, DFM (Senior Superintendent ( Ret )Forensic Odontologist) diperlukan. 
 
Superimposisi Cranio Facial  adalah suatus sistem pemeriksaan untuk menentukan jati diri seseorang dengan membandingkan foto korban/rekaman video semasa hidupnya (ante mortem) dengan tengkorak/ jenazah korban yang ditemukan kemudian (post mortem),” jelas mantan Kepala Rumah Sakit (RS) Polri tahun 1976-2008 ini.
Prinsip kerjanya yaitu dengan cara membandingkan titik anatomis dalam wajah/tengkorak yang tidak bisa berubah/diubah kemudian ditumpangtindihkan/ superimposed (dengan teknik-teknik tertentu dan alat-alat tertentu yang disebut skull mounting & orientation device (SMOD). Teknik ini dapat dilakukan pada jenazah dan tentu saja orang yang masih hidup.
Yang bisa melakukan teknik ini pun tidak sebarangan orang. Untuk melakukan hal ini, diperlukan seorang yang setidaknya memiliki pengetahuan anatomi tubuh secara baik, misalnya dokter/dokter gigi. Ilmu forensik yang dimiliki Peter diakuinya didalami dengan cara kursus. Itu pun gampang-gampang susah. Menurutnya, orang tersebut juga harus mengenal pribadi si expert atau berkawan dengan mereka, baru mereka mau terbuka menularkan ilmunya.
Peter juga bercerita mengenai kasus yang heboh sekarang, yang dulu juga pernah terjadi di Malaysia (saat video seks seorang pejabat dengan artis-artis Malaysia tersebar). Alat yang digunakan pun sama, yakni menggunakan SMOD.
Untuk melakukan analisis terhadap foto/gambar, tidak ada prosedur khusus seperti seorang DFA (yang harus melalui empat tahap). “Yang penting ada surat permintaan dari penyidik, [baru akan] kami laksanakan,” jelas pria kelahiran 60 tahun silam ini. Selain SMOD, masih ada beberapa perangkat lain yang digunakan, seperti video dan komputer dengan program Adobe Photoshop. 
 
Lamanya waktu analisis pun berbeda-beda. “Tergantung sulit tidaknya kasus dan kualitas foto pembanding, posisi, dan lain-lain. [Lamanya proses] bisa [berlangsung] beberapa jam, bisa juga beberapa hari,” terang Peter. Sebagai seorang expert, Peter hanya menjawab cocok atau tidaknya titik-titik anatomisnya. “Soal asli atau tidaknya bukan wewenang kami,” tegas pria yang kini menjadi dosen Bagian Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar serta dosen terbang di beberapa fakultas kedokteran gigi beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Hampir setiap pekerjaan memiliki kendala masing-masing. Bagi Peter, kendala yang kerap ia hadapi misalnya jika korban tidak pernah difoto seumur hidupnya (untuk korban yang sudah meninggal). “Ada kasus pembunuhan di Ambon yang tengkoraknya dikirim pada kami, tapi korban tidak pernah mempunyai foto/tidak pernah difoto,” jelas Peter. “Kualitas foto yang sangat jelek, tengkorak yang ditemukan sudah hancur tidak berbentuk kepala manusia lagi. Posisi korban yang tidak optimal, misalkan menyamping, tertutup orang lain juga menjadi kendala,“ tukasnya. (*)
Lanjut Menantang Kejelian Mata 

No comments:

Post a Comment