TrafficRevenue

Saturday, December 18, 2010

Jejak Forensik Digital - Langka Pesaing

Langka Pesaing
Tugas saya sebagai DFA adalah menganalisis barang bukti digital yang ditemukan polisi,” terang Ruby. “Untuk kasus video yang baru-baru ini terjadi, tugas saya tentu melacak siapa yang menjadi penyebar pertama, berikut barang bukti lainnya yang memiliki memori. Kalau menganalisis keaslian foto/video bukan wewenang saya,” imbuh pria kelahiran Jakarta, 23 November 1974 ini.
Peranan seorang ahli forensik digital di era teknologi seperti saat ini, boleh jadi terbilang penting. Ilmu forensik memiliki andil yang besar dalam menganalisis barang bukti digital. Turunan ilmu IT Security ini memang bertugas menganalisis barang bukti digital secara ilmiah demi menemukan bukti suatu tindak kejahatan. Barang bukti tersebut tentu harus dapat dipertanggungjawabkan dengan baik di mata hukum.
Menurut Ruby, barang bukti digital yang bisa dianalisis tidak melulu notebook, tapi juga personal computer (PC), handphone, PDA, MP3 player, dan sebagainya. Menurut pria yang menjadi satu-satunya warga Indonesia anggota High Technology Crime Investigation Association/HTCIA ini, semua yang memiliki memori, baik itu memori internal maupun eksternal dapat dianalisis.
Untuk masuk ke organisasi yang mayoritas anggotanya terdiri dari para polisi itu tidaklah mudah. Sebagian besar wajib memiliki track record baik dalam melewati kasus-kasus besar dan mengungkap jejak digital menjadi sebuah barang bukti yang kuat di pengadilan. Untuk menangani kasus besar pun harus ada referensi dari polisi atau penegak hukum di negara setempat, sejumlah sertifikasi yang dimiliki, serta resume. Seluruh persyaratan tadi lalu dibawa ke semacam rapat komite. Nah, di sinilah baru ditetapkan apakah seseorang bisa menjadi member HTCIA atau tidak. Faktor inilah yang lantas memunculkan anggapan bahwa menjadi anggota HTCIA tidaklah mudah.  
Ruby sendiri sudah mengantongi 4 sertifikasi di bidang forensik digital, yaitu GCIH (GIAC Certified Incident Handler) dari SANS Institute, USA; GCFA (GIAC Certified Forensic Analyst) dari SANS Institute, USA; CHFI (Computer Hacking Forensic Analyst) dari EC-Council, USA; ENCE (Encase Certified Examiner), dari Guidance Software; dan ACE (Accessdata Certified Examiner), dari AccessData. 
Ruby Alamsyah
 
Untuk mendapatkan sertifikasi-sertifikasi tersebut, sebagian besar harus melalui training resmi terlebih dahulu. Setiap training pun berbeda jangka waktunya. “Rata-rata 1 sampai dengan 2 minggu. Itu hanya training saja, untuk ujiannya ada yang mengambil langsung setelah training, ada juga yang menunggu beberapa waktu untuk belajar lebih detail lagi baru mengambil ujiannya,” jelas Ruby.
Ada satu sertifikasi DF yang setelah lulus ujian tertulis, akan diberikan ujian praktik (dengan barang bukti digital Asli) dan diberi waktu selama 60 hari untuk menyelesaikannya,” ungkapnya. Sertifikasi di sini sebenarnya adalah sebagai penunjang/pendukung keahlian seseorang. Pada akhirnya pendidikan formal dan pengalaman jualah yang akan menentukan porsi keahlian seseorang. Artinya untuk menjadi seorang DFA, seseorang minimal harus memiliki latar belakang pendidikan TI.
Diakui Ruby, dirinya tertarik dengan forensik digital karena pesaingnya masih sedikit. Orang yang seperti Ruby memang masih sedikit. Pasalnya banyak orang TI yang enggan bersentuhan dengan dunia kepolisian, politisi, maupun hukum di Indonesia. Klien seorang DFA pun tidak sebarangan. “Klien saya sejak tahun 2006, sebagian besar adalah penegak hukum (Polri dan Kejaksaan. red). Mulai tahun 2009 sudah mulai banyak klien korporasi maupun klien individu. Saya sudah pernah menjadi saksi ahli di persidangan kasus perdata dan pidana (di pengadilan negeri.red), serta pengadilan di Badan Arbitrase Nasional,” urainya. Ruby juga bercerita, dirinya bahkan sempat mendapat bayaran 5 ribu dolar untuk tiga puluh menit.
Lanjut Prosedur Forensik Digital  



No comments:

Post a Comment